Sabtu, 31 Januari 2015

Kata SUNDALA Khas Makassar


"KAU SUNDALLANGKO,,,, DITUNGGUKO KEMARIN, ACARA AYAM KI"
yang di katakan oleh Daeng Galang Sibaly.

SUNDALA’ merupakan ungkapan berkonotasi kasar
yang biasa didengar di berbagai sudut kota Daeng Makassar.
Di pinggir jalan, di pasar, bahkan di pusat-pusat keilmuan
seperti sekolah dan universitas.

Saya yakin, beberapa dari kita pernah mendengar kata itu,
atau mungkin pernah mengatakannya,
maka memahami apa artinya dan menakar seberapa kasar maknanya
bukanlah perkara yang sulit.

Sundala’ adalah kata yang konon diserap dari kosakata
bahasa Indonesia “sundal” yang berarti perempuan jalang atau pelacur.
Ada juga yang mengartikannya sebagai anak haram.

Namun, sampai saat ini belum ada sumber yang jelas tentang siapa “dalang”
dari penyebaran kata umpatan ini. Tapi jika ditelusuri dari speech community
yang mempopulerkannya, ternyata ia menjadi prokem atau bahasa gaul
dalam komunitas waria alias bencong.

Pada perkembangan selanjutnya, sundala tidak lagi terisolasi
di kalangan waria sebagai bahan canda dan makian antara mereka,
namun juga telah menjadi ekspresi kemarahan saat seseorang
hendak beradu fisik, emosi, atau baru saja ditimpa sial.

Namun seiring waktu, kata itu menjadi trend ditengah laju budaya “bebas memilih”.
 Kesopan-santunan digilas, siri’ yang menjadi falsafah hidup
orang Bugis Makassar pun akhirnya kian terpinggirkan.
Tukang becak, anak jalanan, anak sekolah, bahkan orangtua,
semuanya menyatu dalam kemunduran nilai itu.

Yang menarik, meski penuturnya tahu arti kata tersebut,
mereka tak sedikitpun canggung mengucapkannya di depan rekan-rekan
ketika sedang berbaur dalam canda.
Sundala’ sebagai fenomenon unik di tengah stigma orang Mangkasarak
yang konon kasar meski sebenarnya tak demikian.

Bersama dengan suntili’ dan sikulu’, sundala secara instan
menjatuhkan harga diri pelakunya dan orang yang dituju.
Ketika kata itu diucapkan, pada hakikatnya subjek dan objek tuturan itu
sama-sama jatuh harga dirinya sebagai manusia.


Andai kata seseorang sudah dipakasiri’ (dipermalukan),
maka dalam kepercayaan kita orang Bugis-Makassar,
pelakunya sah ditumpahkan darahnya lewat hunusan sebilah badik.
Siri’ mewajibkan adanya tindak terhadap penyebab rasa malu,
sepadan dengan tingkat rasa malu yang ditimbulkan walaupun tindakan itu biasanya
diasumsikan sebagai suatu kejahatan kriminal.

Adalah menarik melihat pergeseran nilai itu di keseharian kita.
Umpatan sundala’ tidak dibalas dengan badik melainkan dijawab
dengan serapah serupa dan diikuti gelagak tawa. Sungguh aneh.

Sebagaimana lumrah diketahui, tawa menjadi representasi kegembiraan atau
suasana hati yang riang. Oleh karenanya, dalam kasus di atas, sundala’ telah
melepaskan diri dari maknanya. Sundala’ secara sosial telah beralih fungsi
menjadi penanda keakraban.

Dengan keberadaan kata sundala’ di antara mereka,
yang terjadi bukanlah keretakan sosial melainkan yang sebaliknya, kerekatan sosial.
Satu sisi positif yang dapat ditarik dari pergeseran budaya ini adalah
bahwa sundala’ tidak menambah kekacauan dan kekerasan horizontal
yang nampak begitu menyatu dengan keseharian kita.

Kata ini maknanya sudah “dijinakkan”, dan dalam beberapa hal
telah menjadi peredam konflik antar orang per orang yang saling mengenal baik.

Olehnya itu setidak-tidaknya kita bisa lebih kritis dalam memaknai kebhinekaan.
Jika ungkapan bermakna buruk saja bisa menambah keakraban dalam kebersamaan,
bagaimana dengan bahasa-bahasa yang baik dan jauh lebih sopan?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar